Jakarta- Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan tegas menolak dan sangat berkeberatan atas rencana penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk bidang pendidikan sebagaimana draf Rancangan Undang-Undang Revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyampaikan, pemerintah, termasuk Kementerian Keuangan dan DPR, semestinya mendukung dan memberi kemudahan bagi organisasi kemasyarakatan (ormas).
Dia mengingatkan, ormas telah menyelenggarakan pendidikan secara sukarela dan berdasarkan semangat pengabdian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Pemerintah dan DPR mestinya tidak memberatkan organisasi kemasyarakatan penggerak pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat dengan perpajakan yang nantinya akan mematikan lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini banyak membantu rakyat kecil,” tuturnya kepada Wartawan Jumat (11/6).
Terlebih, Haedar menambahkan, sebenarnya ormas ikut meringankan beban pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang belum sepenuhnya merata. Dia mengingatkan, pemerintah berkewajiban penuh menyelenggarakan pendidikan dan kebudayaan bagi seluruh rakyat sebagaimana perintah konstitusi. “Yang berarti jika tidak menunaikannya secara optimal, sama dengan mengabaikan konstitusi,” ucapnya.
Pemerintah, kata Haedar, malah perlu berterima kasih kepada ormas penyelenggara pendidikan yang selama ini membantu meringankan beban kewajiban pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan dan program kerakyatan lainnya. Bukan malah membebani dengan PPN.
“Jika kebijakan PPN itu dipaksakan untuk diterapkan, yang nanti akan mampu menyelenggarakan pendidikan selain negara yang memang memiliki APBN, justru para pemilik modal yang akan berkibar dan mendominasi sehingga pendidikan akan semakin mahal, elitis, dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan,” katanya.
Haedar juga mengatakan, rencana penerapan PPN bidang pendidikan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan jiwa konstitusi UUD 1945 Pasal 31 Pendidikan dan Kebudayaan. Pasal tersebut mengandung beberapa perintah. Pertama, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Kedua, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ketiga, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Keempat, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Kelima, pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pemerintah berencana menarik PPN untuk jasa pendidikan alias sekolah. Hal ini sebagaimana tertuang dalam draf Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Sebelumnya, jasa pendidikan alias sekolah masuk kategori jasa bebas PPN. Adapun jasa pendidikan yang dimaksud dalam hal ini sesuai dengan PMK 011 Tahun 2014 Tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, seperti PAUD, SD, SMP, SMA/SMK hingga Bimbel.
Dari Klaten dilaporkan, Pendiri Eko Wiratno Research and Consulting(EWRC), Eko Wiratno yang juga pemilik Bimbingan Belajar(Bimbel) di Klaten mengkritik dan menolak wacana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako dan sekolah/jasa Pendidikan dalam draft revisi Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir kali dengan UU No. 16 Tahun 2009.
Eko Wiratno mengatakan bahwa wacana kebijakan tersebut tidak hanya berdampak negatif kepada rakyat menengah ke bawah yang perekonomiannya sedang dalam kondisi susah di era pandemi Covid-19 yang semakin menggila ditanah air saat ini, tetapi juga tidak mencerminkan pelaksanaan dari sila Pancasila terkait dengan kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
“Posisi sulit karena pandemi, mereka masyarakat menengah ke bawah, mayoritas rakyat yang terhubung dengan sekolah dan sembako justru dikenakan pertambahan pajak, sedangkan orang kaya/konglomerat diberikan kebijakan tax amnesty, pajak 0% untuk PPnBM. Kebijakan seperti itu jelas sangat tidak adil dan tidak manusiawi, tidak sesuai dengan Pancasila,” Tegasnya Eko Wiratno.
Eko Wiratno kepada infojawatengah.com menambahkan “Karena pandemi covid-19 mengakibatkan daya beli dan daya bayar Rakyat menurun drastis. Mestinya pemerintah membantu Rakyat, jangan malah membebani dengan pajak-pajak yang tidak adil,” Pungkasnya.
( Sumber : https://www.republika.co.id/ ***)
Related Posts
Kementerian Negara Kabinet Merah Putih
Pendiri dan Direktur Eksekutif EWRC Indonesia Sampaikan Selamat Atas Dilantiknya Prof Abdul Mu’ti, M.Ed sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Kabinet Merah Putih.
Tugas Kementerian Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka 2024-2029
Profil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof Dr Abdul Mu’ti, M.Ed yang Juga Sekretaris Umum PP Muhammadiyah
j
No Responses