
BOYOLALI(JARINGAN ARWIRA MEDIA GROUP)- “Mereka yang tidak belajar dari sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya.” Kutipan George Santayana itu menjadi pengingat utama dalam acara Bincang Buku Prahara di Garis Merah yang akan digelar di Museum R. Hamong Wardoyo, Boyolali, pada Sabtu (25/10/2025).
Acara yang berlangsung pukul 14.45–18.00 WIB ini mengajak publik untuk menelusuri kembali tragedi kekerasan politik 1965–1979 di wilayah Klaten dan Boyolali.
Diskusi menghadirkan tiga pembicara, yaitu Ismail Al Habib (Peneliti Lembaga Kajian Transformasi Sosial Boyolali), Christianto Dedy S. (Guru Sejarah SMA Regina Pacis Solo), dan Ody Dasa F. (Penggerak Literasi Sejarah). Kegiatan akan dimoderatori oleh Radit Satu Karsa.
Acara terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Niva (0857-0150-0462).
Tentang Buku “Prahara di Garis Merah”
Buku Prahara di Garis Merah: Aksi Kekerasan dan Penghancuran PKI di Klaten dan Boyolali (1965–1979) ditulis oleh Kuncoro Hadi dan diterbitkan oleh Narasi (imprint Media Pressindo). Buku setebal xviii + 288 halaman dengan ukuran 14,5 x 21 cm, Terbit pada tahun 2025.
Karya ini merupakan kajian sejarah lisan yang menggali detail konflik sosial dan politik di dua daerah yang dikenal sebagai basis kaum “merah”.
Salah satu peristiwa penting yang diangkat adalah Kentong Gropyok, malam mencekam pada 22 Oktober 1965, ketika bunyi kentongan tanda bahaya menggema di Manisrenggo, Prambanan, Depo (Klaten Selatan), dan Jogonalan. Warga panik dan ketakutan tanpa tahu apa yang sedang terjadi.
Keesokan harinya, 23 Oktober 1965, kekerasan pecah. Orang-orang yang terlibat atau dituduh berafiliasi dengan PKI diburu, sementara partai dan organisasi mereka dihancurkan.
Melalui kesaksian warga dan penelitian lapangan, buku ini berupaya menghadirkan kembali sisi manusiawi dari tragedi yang selama ini sering terpinggirkan dalam sejarah resmi.
Acara ini mendapatkan sambutan positif dari berbagai kalangan. Eko Wiratno, analis EWRC Indonesia, menilai kegiatan seperti ini penting untuk memperkuat kesadaran sejarah di masyarakat.
“Upaya seperti ini patut diapresiasi. Belajar sejarah lokal membantu kita memahami bagaimana peristiwa besar berdampak langsung pada masyarakat. Dari situ, kita bisa mengenal bangsa ini lebih dalam,” ujar Eko Wiratno.
Eko Wiratno menambahkan bahwa diskusi ini menjadi ruang bagi masyarakat untuk belajar dari berbagai perspektif.
“Literasi tidak berhenti pada buku. Berbincang dan bertukar pandangan juga bagian dari belajar sejarah,” ujarnya.
Dengan menghadirkan peneliti, guru sejarah, dan penggerak literasi, Bincang Buku Prahara di Garis Merah diharapkan dapat membuka ruang dialog yang jujur dan reflektif agar generasi muda tak lagi buta terhadap sejarah lokalnya sendiri.(**)
Related Posts

Eko Wiratno Apresiasi PCM Jatinom dan PRM Krakitan: Bukti Dakwah Muhammadiyah Tak Pernah Padam

Eko Wiratno: Strategi Investasi Emas yang Bikin Cuan Makin Besar

Cuan Pecah Rekor! Harga Emas Antam Turun, Tapi Untung Tahunan Tembus Rp642 Juta per Kilo

Hukum Membaca Yasin dan Mengirim Bacaan Al-Fatihah Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Sumber: Majalah SM No 15 Tahun 2022

Cuan Emas Sebulan Rp49,3 Juta, Eko Wiratno EWRC Indonesia Sebut Investasi Aman

No Responses