Refleksi 80 Tahun Pengabdian
Tanggal 5 Oktober 2025 menandai delapan dekade perjalanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) — sebuah institusi yang lahir dari rahim perjuangan rakyat dan menjadi benteng terakhir kedaulatan bangsa. Delapan puluh tahun bukan sekadar angka peringatan. Ia adalah refleksi panjang tentang bagaimana kekuatan militer Indonesia menjaga keseimbangan antara kekuasaan, rakyat, dan negara.
Sejak awal berdirinya, TNI tidak lahir dari skema kolonial atau produk politik elitis. Ia tumbuh dari semangat rakyat biasa yang mengangkat senjata demi mempertahankan kemerdekaan. Dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) hingga Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan akhirnya menyatu dalam nama Tentara Nasional Indonesia — perjalanan itu menggambarkan satu hal: TNI adalah anak kandung revolusi.
Dan kini, delapan puluh tahun kemudian, TNI tidak lagi berjuang di medan fisik melawan penjajah, tetapi di medan baru: menjaga kedaulatan di tengah arus globalisasi, geopolitik digital, dan kompleksitas demokrasi modern.
Dari Revolusi ke Reformasi: Transformasi yang Tak Mudah
Dalam catatan sejarah, TNI memegang peran sentral dalam mempertahankan Republik. Namun, perjalanan itu tidak selalu lurus. Ada masa di mana militer menjadi bagian dari kekuasaan politik, terutama pada era Orde Baru dengan konsep Dwifungsi ABRI. TNI saat itu menjadi pilar sekaligus alat politik pembangunan — menghadirkan stabilitas, tapi juga menciptakan jarak dengan rakyat.
Reformasi 1998 menjadi titik balik besar. Pemisahan Polri dari ABRI menandai awal profesionalisme militer modern. TNI mulai menata ulang orientasinya: kembali ke barak, menjauhi urusan politik praktis, dan memperkuat peran pertahanan murni. Proses itu tentu tidak mudah, tetapi menjadi fondasi penting agar TNI tetap dihormati dalam tatanan demokrasi yang sehat.
Kini, dua dekade lebih pasca-reformasi, TNI menatap masa depan dengan tekad baru: menjadi kekuatan profesional, modern, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju
Tema HUT ke-80 TNI tahun ini — “TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju” — mencerminkan arah dan cita-cita yang ingin diwujudkan. Kata “prima” memuat nilai profesional, responsif, integratif, modern, dan adaptif. Sementara “TNI Rakyat” adalah pengingat agar kemanunggalan antara prajurit dan masyarakat tetap menjadi jantung kekuatan TNI. “Indonesia Maju” menegaskan bahwa kekuatan pertahanan nasional adalah pondasi dari kemajuan bangsa.
Peringatan ke-80 tahun bukan sekadar seremoni parade dan pameran alutsista. Ini adalah momentum untuk memperdalam refleksi: sejauh mana TNI tetap setia pada amanat konstitusi, menjaga jarak dari politik praktis, dan hadir untuk rakyat — bukan di atas rakyat.
Modernisasi: Dari Senjata ke Siber
Modernisasi alutsista menjadi salah satu agenda besar TNI dalam satu dekade terakhir. Di tengah kemajuan teknologi global, perang modern tidak lagi hanya soal kekuatan senjata, tetapi kemampuan siber, intelijen digital, dan integrasi sistem komando.
Pemerintah dan TNI kini berupaya membangun kemandirian pertahanan nasional. Pembentukan Cyber Defense Unit sebagai cikal bakal “Angkatan Siber” menjadi langkah strategis menghadapi ancaman non-fisik. Serangan siber, propaganda digital, dan perang informasi kini sama berbahayanya dengan serangan militer konvensional.
Namun modernisasi tidak hanya berbicara soal alat tempur. Ia juga menyangkut kualitas sumber daya manusia. Prajurit masa depan bukan hanya harus tangguh di lapangan, tetapi juga cakap dalam teknologi, analisis data, dan diplomasi pertahanan. TNI harus mempersiapkan diri memasuki era smart defense — di mana strategi digital menjadi senjata utama menjaga kedaulatan bangsa.
Menjaga Marwah Profesionalisme di Era Demokrasi
Salah satu ujian terbesar TNI di era modern adalah menjaga profesionalisme di tengah godaan politik. Netralitas TNI menjadi prinsip sakral yang tidak bisa ditawar. Setiap penyimpangan akan mencoreng kepercayaan publik dan mengikis marwah institusi.
Koalisi masyarakat sipil berulang kali mengingatkan pentingnya supremasi sipil dan akuntabilitas militer. Kritik itu harus diterima sebagai cermin, bukan ancaman. Karena sejatinya, legitimasi TNI tidak datang dari kekuatan senjata, tetapi dari kepercayaan rakyat.
Dalam konteks ini, TNI dituntut terus memperkuat transparansi, memperbaiki sistem peradilan internal, dan menegakkan etika keprajuritan yang berintegritas. Sebab, kekuatan sejati TNI bukan hanya dalam jumlah batalion atau kecanggihan senjata, melainkan dalam moral dan disiplin prajuritnya.
TNI dan Rakyat: Kemanunggalan yang Harus Dijaga
Selama delapan dekade, kemanunggalan TNI dan rakyat menjadi nilai inti yang membedakan Indonesia dari banyak negara lain. Dari operasi kemanusiaan, tanggap bencana, hingga penjagaan di wilayah perbatasan — TNI selalu hadir di tengah masyarakat.
Namun, kemanunggalan itu harus diperbarui maknanya. TNI tidak boleh hanya hadir sebagai simbol kekuatan, tetapi juga sebagai mitra dalam pembangunan nasional. Prajurit di lapangan kini dituntut tidak hanya memegang senjata, tetapi juga memahami kebutuhan sosial masyarakat, mendukung pendidikan, dan membantu penguatan ekonomi daerah terpencil.
TNI yang kuat adalah TNI yang dekat dengan rakyat. Karena dari rakyatlah ia lahir, dan untuk rakyatlah ia mengabdi.
Tantangan Abad Digital: Dari Laut Natuna hingga Ruang Siber
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan pertahanan yang kompleks. Di laut, ancaman pelanggaran batas wilayah dan konflik maritim masih sering terjadi. Di darat, potensi separatisme dan ancaman terorisme belum sepenuhnya hilang. Di udara dan siber, ancaman baru muncul dalam bentuk serangan digital, propaganda, dan spionase elektronik.
TNI harus siap di semua lini. Dari menjaga perbatasan Natuna hingga melindungi server kementerian dari serangan siber, semua itu adalah bagian dari perang modern yang tak kasat mata.
Di sinilah pentingnya sinergi antar-matra: darat, laut, udara, dan siber. Indonesia membutuhkan pertahanan multidomain yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga kecerdasan strategi dan kecepatan adaptasi teknologi.
Menatap 2045: Militer yang Modern dan Bermoral
Ketika Indonesia menapaki usia 100 tahun kemerdekaan pada 2045, TNI diharapkan menjadi kekuatan militer modern yang disegani di tingkat global. Untuk mencapai itu, ada tiga prasyarat utama: profesionalisme, kemandirian, dan integritas.
Profesionalisme berarti terus memperbarui ilmu dan kemampuan tempur. Kemandirian berarti membangun industri pertahanan dalam negeri yang kuat agar tidak tergantung pada impor. Sedangkan integritas berarti menjaga kehormatan prajurit dan menjauh dari segala bentuk penyimpangan.
Modernisasi tanpa moral akan melahirkan kekuatan yang buta arah. Tapi moral tanpa modernisasi akan melahirkan kelemahan yang mudah ditundukkan. Maka keduanya harus berjalan beriringan.
Harapan Rakyat untuk TNI
Rakyat Indonesia berharap TNI tetap menjadi garda terdepan yang tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga menjadi simbol keteladanan. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi politik, TNI sering menjadi sandaran moral bangsa. Amanah itu berat, tapi sekaligus mulia.
Ke depan, TNI dituntut untuk lebih transparan, lebih inklusif, dan lebih terbuka terhadap kritik. Karena di era demokrasi modern, kekuatan sejati bukan berasal dari rasa takut, melainkan dari rasa percaya.
Penutup – 80 Tahun Mengabdi, Selamanya untuk Negeri
Delapan puluh tahun perjalanan TNI bukan sekadar catatan sejarah militer, melainkan bagian dari perjalanan bangsa itu sendiri. Dari medan perang revolusi hingga ruang digital abad ke-21, TNI selalu hadir dengan satu tujuan: menjaga kedaulatan dan martabat Indonesia.
Kini, tantangan bukan lagi peluru dan meriam, melainkan disinformasi, konflik global, dan ancaman internal yang menguji karakter bangsa. Di tengah semua itu, TNI harus tetap tegak — menjadi kekuatan yang bersih, profesional, dan berpihak pada rakyat.
Selamat ulang tahun ke-80 untuk Tentara Nasional Indonesia. Semoga semangat juang, disiplin, dan pengabdian TNI terus menjadi inspirasi bagi seluruh anak bangsa. Karena seperti kata pepatah lama: “Sekuat apa pun senjata sebuah negara, yang menjaganya tetap berdiri adalah jiwa pengabdian para prajuritnya.”
Related Posts
Batik: Lebih dari Sekadar Kain, Ia Adalah Peradaban Oleh: Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia
Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia: Dari Maulid Menuju Peradaban Islam yang Berkemajuan
Agus Suparmanto–Taj Yasin: Taruhan Terakhir PPP di Panggung Politik Nasional oleh Eko Wiratno(Pendiri EWRC Indonesia)
Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia : Kerja Buruh Klaten Sebulan Hanya Setara Satu Gram Emas, Di Mana Letak Keadilan?
Emas, UMK, dan Mimpi Pekerja Klaten yang Makin Jauh Oleh: Eko Wiratno – Pendiri EWRC Indonesia
No Responses