
Emas, UMK, dan Mimpi Pekerja Klaten yang Makin Jauh
Oleh: Eko Wiratno – Pendiri EWRC Indonesia
Harga emas bukan sekadar angka di layar ponsel atau papan pengumuman toko perhiasan, melainkan cermin telanjang dari seberapa kuat atau rapuhnya daya beli kita. Dalam rentang 2010–2025, harga emas Antam naik bagaikan roket. Namun, apakah kenaikan itu diimbangi oleh kenaikan pendapatan pekerja di Klaten?
Fakta menunjukkan sebaliknya: pekerja makin ngos-ngosan mengejar emas, seolah emas berlari kencang sementara UMK hanya berjalan santai. Pertanyaan provokatifnya: apakah pemerintah dan dunia usaha puas melihat pekerja hanya bisa membeli secuil emas dengan gaji sebulan?
Mari kita lihat datanya. Tahun 2010, harga emas Rp 339.000 per gram, sementara UMK Klaten Rp 735.000. Artinya, hampir separuh gaji bulanan habis hanya untuk 1 gram emas. Tahun 2015, UMK naik lebih cepat, beban pekerja menurun sedikit—sebuah napas lega kecil. Tapi sejak 2020, situasi berubah dramatis. Emas meroket ke Rp 862.000, dan UMK Rp 1.947.821, rasio masih sekitar 44 persen. Namun di 2025, harga emas tembus Rp 2.167.000 sementara UMK hanya Rp 2.389.873. Bayangkan: untuk membeli satu gram emas, seorang pekerja harus menyerahkan hampir seluruh gajinya—91 persen! Apakah ini yang disebut “kemajuan ekonomi”? Atau justru sebuah alarm bahaya bahwa kesejahteraan riil sedang merosot tajam?
Secara teori, ini jelas pelajaran tentang paritas daya beli (purchasing power parity/PPP). Jika pendapatan nominal naik tetapi harga aset naik jauh lebih cepat, maka daya beli kita sebenarnya menurun. Emas adalah indikator nyata bahwa rupiah kita melemah. Inflasi? Tentu. Tapi lebih dari itu, ini adalah tanda bahwa pekerja semakin sulit mengonversi keringatnya menjadi tabungan jangka panjang.
Dalam bahasa Amartya Sen, kemampuan (capabilities) pekerja untuk mengamankan masa depan melemah drastis. Mereka mungkin bisa memenuhi kebutuhan harian, tetapi impian untuk punya tabungan emas tinggal mitos.
Kondisi ini bukan sekadar statistik—ini pukulan psikologis. Emas di Jawa bukan hanya logam mulia, melainkan simbol keamanan keluarga. Ia adalah biaya sekolah anak, modal usaha, atau jaminan ketika musibah datang. Jika pekerja semakin sulit membeli emas, mereka sebenarnya kehilangan “jaring pengaman sosial” yang diwariskan turun-temurun. Hasilnya? Masyarakat makin rentan terhadap krisis, utang konsumtif meningkat, dan ketimpangan sosial melebar.
Pemerintah daerah dan pusat tidak bisa tutup mata. Kenaikan UMK yang hanya mengejar KHL harian adalah pendekatan sempit. UMK harus memperhitungkan kemampuan menabung. Jika pekerja tidak mampu membeli aset seperti emas, maka mereka akan tetap miskin meski gaji naik. Apakah kita mau mencetak generasi buruh yang hanya hidup dari gaji ke gaji, tanpa punya kesempatan naik kelas sosial?
Selain itu, dunia usaha perlu jujur. Mereka sering beralasan biaya produksi naik jika UMK terlalu tinggi. Namun, jika kenaikan upah terlalu lambat dibandingkan lonjakan harga emas, maka produktivitas dan loyalitas pekerja akan hancur. Pekerja yang merasa tidak mampu meraih masa depan akan kehilangan motivasi. Ini bom waktu bagi industri: mogok kerja, turnover tinggi, hingga turunnya kualitas produksi.
Inilah saatnya kita bicara serius. Kenaikan harga emas adalah alarm merah. Bukan sekadar data ekonomi, tapi sinyal bahwa kesejahteraan riil sedang tergerus. Pekerja tidak hanya butuh gaji yang cukup untuk makan, tetapi juga cukup untuk menabung. Tanpa itu, mereka hanya menjadi roda penggerak ekonomi yang cepat aus dan diganti.
Kesimpulannya, data 2010–2025 menunjukkan fakta pahit: daya beli pekerja Klaten terhadap emas merosot tajam. Ini bukan sekadar masalah harga, tapi masalah keadilan ekonomi. Jika tren ini dibiarkan, emas akan menjadi barang mewah yang hanya bisa dimiliki segelintir orang, sementara mayoritas pekerja hanya bisa menatapnya di etalase toko. Pemerintah harus segera menyesuaikan kebijakan upah, memperluas akses investasi murah, dan meningkatkan literasi keuangan. Dunia usaha harus berani memberikan insentif yang memungkinkan pekerja menabung. Jika tidak, kita sedang menciptakan generasi pekerja yang bekerja keras tapi tidak pernah sejahtera.(**)
Related Posts
Agus Suparmanto–Taj Yasin: Taruhan Terakhir PPP di Panggung Politik Nasional oleh Eko Wiratno(Pendiri EWRC Indonesia)
Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia : Kerja Buruh Klaten Sebulan Hanya Setara Satu Gram Emas, Di Mana Letak Keadilan?
Eko Wiratno, Pendiri EWRC Indonesia : “Investasi Dunia-Akhirat: 1 Gram Emas dan 1 Juz Al-Qur’an Setiap Hari”
EKO WIRATNO, PENDIRI EWRC INDONESIA : 7 PRINSIP DASAR DALAM BERDEBAT SECARA ELEGAN
Kader Kesehatan: Sumber Inspirasi Hidup Sehat Oleh Septiana Juwita Mahasiswa Program Doktoral Penyuluhan Pembangunan / Program Pemberdayaan Masyarakat dengan Peminatan Promosi Kesehatan. Sekolah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
No Responses